#1
Lalu
bagaimana caranya tersenyum dengan pertanyaan yang jawabannya pergi bersama
bayang?
Sebagai
cendramata yang kau jual berbagai tanda tanya
Haruskah ada
jawaban dari segala itu, sedang kau bawa lari apa yang telah kuterka
Inikah beku
yang peling beku?
#2
Kurapatkan
jari-jari bunga disisi kita
Disebelah
sana, katamu seketika
Mengalihkan
pandangku yang sedari tadi tak bersudut
Barangkali
kau lihat, ucapmu menunjuk
Kuncup
dirapalan doaku, senyap diudara lirihnya
Diantara
banyak orang, katamu tergantung
Mengapa
harus aku? Tanyamu langsung.
#3
Aku
terlambat menetaskan fajar dari mimpi yang berkaca-kaca dipelupuk mata
Dan sebuah
rahasia diatas beranda
Yang
padadaun-daun itu tak lagi tergelincir embun
Serta dirimu
yang memetamorfosiskan diri menjadi jauh
Menghadapkan
aku pada suatu pagi.
#4
Tetapi
mungkin kita yang tak memahami
Meneroboskan
cahaya dari sela-sela jendela, membawa jeda
Begitu jauh
ketidakberdayaan ilalang diusik angin
Gelagat
camar-camar, kelopak embun, siasat mata bernapas
Dan kita masih
meninabobokan mimpi.
#5
Bahkan
semesta mengiba diturunkannya bait-bait hujan
Membelah
keheningan beberapa saat lalu sebelum aku berteduh
Memang
benar, hujan juaranya
Mengkebumikan
aku dalam pusara bersama reruntuhan itu.
Lewat
ingatan yang tergenang begitu dalam
Bukan, bukan
waktunya untuk mengenang
Betapa tak
ada yang berbeda dari hujan ketika, “aku mencintaimu” kau katakan
Hingga hujan
saat dimana, “entahlah” perasaanmu begitu,
Tak ada yang
kusesalkan
Hanya
begemericiknya menyadarkanku akan sesuatu
Ritmenya
sama dengan langkah kita (dulu).
#6
Aku bahkan
belum menyelesaikan tumpukan esai yang kau berikan
Harusku isi
seperti apa?
Sementara
yang berkisah adalah kepergian
Serta tanda
tanya berada diransel yang kau bawa.
Puisi
menyuratkan baitnya sendiri untuk mencairkan duniamu
Namun gagal,
terlalu beku ia yang berkanal disenyum itu
Dibawa
kupu-kupu berterbangan mematikan sabtu malam
Berbulan
oktober, dan garis-garis hujan.
Diatas ubin
dingin biar kusimpan kisah-kisah itu
Yang
debu-debu lenyap
Dedaunan
keringpun tak lagi terinjak
Karena gugur
dihatikan telah beganti mendung
Dan separuh
itu belum tersentuh utuh.
#7
Mungkin
hanya lelaki itu yang tau
Seperti apa
senyum yang mampu menghangatkan cakrawala
Berganti
siang, padahal senja yang ia tunggu
Atau alasan
dirinya mengubur aroma sepi.
Ditinggal
dan berpulang kemarau, tetapi tak digubris olehnya
Bukan karena
ia mencintai musim hujan
Karena ada
yanglebih membuatnya penasaran
Selain
terbang daun-daun berguguran
Adalah
dirinya, yang akankah dicari apabila hilang?
#8
Sore itu, kalau saja matahari tak memulangkan sinarkan
dilangit-langit yang gelap kemudian
Wanita berhati belati itu, bermandikan sunyi diterangi
lampion-lampion lusuh tinggal menunggu padam
Engkau dipersimpangan petang, lelaki bermata peluru yang
berdesing membidik sebiji ingatan
Tentang, si wanita yang kini dijadikan figuran.
#9
Atap-atap
beton yang berdongeng menuntun berimajinasi
Diramai
orang berpapasan tak saling kenal
Mungkin ada
yang membawa ragu tak lekang melewati pintu-pintu
Salah satu
terku yang masih menjadi teka-teki dibibirmu
Mengiringi
rahasia dipertemuan itu
Adakah aku,
adakah aku kebetulan dalam hidupmu?
#10
Kau
menyuruhku untuk berjalan saja kebarat
Namun
selatan yang justru kau pilih
Bagaimana
bisa kita bertemu?
Saat dimana
kau ingin mendekapku erat
Lalu
menyadari betapa aku terlalu jauh
Sedangkah
jarak sesuatu yang lucu kau anggap?
#11
Begitulah
engkau, memeluk lirih yang bungkam dari kepergian
Inilah
pilihmu, pikirku
Lupakan
bagaimana bebauan kasturi menciptakan teduh,
namun gaduh tetap bersemayam dimatamu
namun gaduh tetap bersemayam dimatamu
Dimana aku
berlorong sepi sebab yang kau bawa adalah utuh
Kau lah yang
menciptakan ambigu diatas pasti
Padahal tak
ada ragu disudut pandangku.
Kita berbagi
rindu sebelum akhirnya sebilah waktu mematikan nyala lampu,
dilangit-langit kamar
dilangit-langit kamar
Yang kubawa
keperaduan sebagai ingatan
hanyut
tersandera detak jarum jam
seolah
bercengrama tetapi diam.
Lalu malam
pernah bisikan sesuatu ditelinga
Tentang kau
didalamnya
Memasung aku
dalam kata
Sebab bukan
sekali aku pernah terluka.
Beberapa
orang memilih diam, ketika jatuh cinta
Beberapanya
lagi justru jatuh, ketika berusaha bersama
Dan aku
menjadikan serakah
Tak ingin
jatuh, tak ingin diam
Biar jatuh
cinta dan selalu bersama.
#12
Menunggumu,
tak seperti ketika bermain lompat tali
Entah kau
datang atau tidak
Aku bertaruh
bagaikan bermain monopoli
Atau seperti
gunting batu kertas
Yang aku
tidak tahu, apa yang didapat apa yang lepas
Tapi mampu
bertahan hingga kau datang
Disitulah
aku merasa seperti pemenang.
#13
Aku mengarak
barisan hari setelah kau memilih tiada, menghitungnya
Barangkali
kutemukan kesalahan disana
Setiap jarum
jam mengarah, jejak langkah,
lalu hilang angka-angka dalam kalender
lalu hilang angka-angka dalam kalender
Tetap tak
ada dirimu disana.
Telah ku
pisahkan mana abai mana rindu
Tetapi tetap
persentase mereka tak sebanding
Karena yang
kupelajari hanya merasa seakan semua baik-baik saja saat kau tak ada,
bukan
mengubur rasa dalam galian tanah berbau luka.
Juga karena,
kenanganmu masih berserakan diruang hati
Belum ku
benahi
Boleh jadi kau
kembali menamu, membawa bingkisan untukku
Harap yang
kau bawa pergi.
#14
Maaf jika
aku selalu berpuisi
Tanpa
menguba senja itu disayup-sayup matamu
Sekilat
bayangmu yang permisi dikaca spion itu
Kau rengkuh
ingatanku pada bilik-bilik keabadian.
Aku hanya
tak mengerti tentang banyaknya rumus pada matematika
Begitulah
ketika yang lebih kusukai bermain pada kata
Tapi tenyata
bukan hanya itu
Adakah
dirimu masih berbentuk tanda tanya?
#15
Dulu ia
ramai bertengger pada bintang yang seakan bernapas dimalam hari
Atau pada
siang ramah sekawan burung menyapanya membentuk formasi
Sialnya,
kini tak lagi kujumpai.
Dia yang
kunamai langit
Yang pergi
daun-daun itu tak lagi berkabar didahan kenangan
Dia yang
kini beraroma mendung
Tak
menjadikan malam sebagai malam
Lalu salah
siapa ia yang kini tak berawan?
#16
Aku merindu
(lagi)
Bukit
bintang yang pernah kita kunjungi malam hari
Deretan
pinus disepanjang jalan yang kita lewati
Biru pantai
parangtritis membawa ombak menggelitik jari kaki.
Senja yang
kita lihat dipelataran candi
Jalan
malioboro yang riuh kita telusuri
Lalu
bangunan-bangunan bersejarah ditaman sari
Dan masih
banyak tempat yang belum kita kunjungi
Aku merindu
(lagi).
#17
Adapun tahun
telah kusematan pada bulan-bulan yang berganti
Tetapi kabar
tak lantas
Ia mengabur
Diudara yang
melayang napas-napas itu.
Engkau buat
sedemikian rupa hingga jantungku bereuforia
Namun
sedetik berikutnya, kau banting namaku dengan fasih ditrotoar jalan
Begitulah
aku menuliskan sepenggal kisah yang kulupakan prolognya
Awal dari segala kita.-RIP-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar