Kamis, 19 Juli 2018

Kumpulan Puisi Tanpa Judul (RIP)



#1
Lalu bagaimana caranya tersenyum dengan pertanyaan yang jawabannya pergi bersama bayang?
Sebagai cendramata yang kau jual berbagai tanda tanya
Haruskah ada jawaban dari segala itu, sedang kau bawa lari apa yang telah kuterka
Inikah beku yang peling beku?

#2
Kurapatkan jari-jari bunga disisi kita
Disebelah sana, katamu seketika
Mengalihkan pandangku yang sedari tadi tak bersudut
Barangkali kau lihat, ucapmu menunjuk
Kuncup dirapalan doaku, senyap diudara lirihnya
Diantara banyak orang, katamu tergantung
Mengapa harus aku? Tanyamu langsung.

#3
Aku terlambat menetaskan fajar dari mimpi yang berkaca-kaca dipelupuk mata
Dan sebuah rahasia diatas beranda
Yang padadaun-daun itu tak lagi tergelincir embun
Serta dirimu yang memetamorfosiskan diri menjadi jauh
Menghadapkan aku pada suatu pagi.


#4
Tetapi mungkin kita yang tak memahami
Meneroboskan cahaya dari sela-sela jendela, membawa jeda
Begitu jauh ketidakberdayaan ilalang diusik angin
Gelagat camar-camar, kelopak embun, siasat mata bernapas
Dan kita masih meninabobokan mimpi.

#5
Bahkan semesta mengiba diturunkannya bait-bait hujan
Membelah keheningan beberapa saat lalu sebelum aku berteduh
Memang benar, hujan juaranya
Mengkebumikan aku dalam pusara bersama reruntuhan itu.

Lewat ingatan yang tergenang begitu dalam
Bukan, bukan waktunya untuk mengenang
Betapa tak ada yang berbeda dari hujan ketika, “aku mencintaimu” kau katakan
Hingga hujan saat dimana, “entahlah” perasaanmu begitu,

Tak ada yang kusesalkan
Hanya begemericiknya menyadarkanku akan sesuatu
Ritmenya sama dengan langkah kita (dulu).

#6
Aku bahkan belum menyelesaikan tumpukan esai yang kau berikan
Harusku isi seperti apa?
Sementara yang berkisah adalah kepergian
Serta tanda tanya berada diransel yang kau bawa.

Puisi menyuratkan baitnya sendiri untuk mencairkan duniamu
Namun gagal, terlalu beku ia yang berkanal disenyum itu
Dibawa kupu-kupu berterbangan mematikan sabtu malam
Berbulan oktober, dan garis-garis hujan.

Diatas ubin dingin biar kusimpan kisah-kisah itu
Yang debu-debu lenyap
Dedaunan keringpun tak lagi terinjak
Karena gugur dihatikan telah beganti mendung
Dan separuh itu belum tersentuh utuh.

#7
Mungkin hanya lelaki itu yang tau
Seperti apa senyum yang mampu menghangatkan cakrawala
Berganti siang, padahal senja yang ia tunggu
Atau alasan dirinya mengubur aroma sepi.

Ditinggal dan berpulang kemarau, tetapi tak digubris olehnya
Bukan karena ia mencintai musim hujan
Karena ada yanglebih membuatnya penasaran
Selain terbang daun-daun berguguran
Adalah dirinya, yang akankah dicari apabila hilang?


#8
Sore itu, kalau saja matahari tak memulangkan sinarkan dilangit-langit yang gelap kemudian
Wanita berhati belati itu, bermandikan sunyi diterangi lampion-lampion lusuh tinggal menunggu padam
Engkau dipersimpangan petang, lelaki bermata peluru yang berdesing membidik sebiji ingatan
Tentang, si wanita yang kini dijadikan figuran.

#9
Atap-atap beton yang berdongeng menuntun berimajinasi
Diramai orang berpapasan tak saling kenal
Mungkin ada yang membawa ragu tak lekang melewati pintu-pintu
Salah satu terku yang masih menjadi teka-teki dibibirmu
Mengiringi rahasia dipertemuan itu
Adakah aku, adakah aku kebetulan dalam hidupmu?

#10
Kau menyuruhku untuk berjalan saja kebarat
Namun selatan yang justru kau pilih
Bagaimana bisa kita bertemu?
Saat dimana kau ingin mendekapku erat
Lalu menyadari betapa aku terlalu jauh
Sedangkah jarak sesuatu yang lucu kau anggap?


#11
Begitulah engkau, memeluk lirih yang bungkam dari kepergian
Inilah pilihmu, pikirku
Lupakan bagaimana bebauan kasturi menciptakan teduh, 
namun gaduh tetap bersemayam dimatamu
Dimana aku berlorong sepi sebab yang kau bawa adalah utuh
Kau lah yang menciptakan ambigu diatas pasti
Padahal tak ada ragu disudut pandangku.

Kita berbagi rindu sebelum akhirnya sebilah waktu mematikan nyala lampu, 
dilangit-langit kamar
Yang kubawa keperaduan sebagai ingatan
hanyut tersandera detak jarum jam
seolah bercengrama tetapi diam.

Lalu malam pernah bisikan sesuatu ditelinga
Tentang kau didalamnya
Memasung aku dalam kata
Sebab bukan sekali aku pernah terluka.

Beberapa orang memilih diam, ketika jatuh cinta
Beberapanya lagi justru jatuh, ketika berusaha bersama
Dan aku menjadikan serakah
Tak ingin jatuh, tak ingin diam
Biar jatuh cinta dan selalu bersama.


#12
Menunggumu, tak seperti ketika bermain lompat tali
Entah kau datang atau tidak
Aku bertaruh bagaikan bermain monopoli
Atau seperti gunting batu kertas
Yang aku tidak tahu, apa yang didapat apa yang lepas
Tapi mampu bertahan hingga kau datang
Disitulah aku merasa seperti pemenang.

#13
Aku mengarak barisan hari setelah kau memilih tiada, menghitungnya
Barangkali kutemukan kesalahan disana
Setiap jarum jam mengarah, jejak langkah, 
lalu hilang angka-angka dalam kalender
Tetap tak ada dirimu disana.

Telah ku pisahkan mana abai mana rindu
Tetapi tetap persentase mereka tak sebanding
Karena yang kupelajari hanya merasa seakan semua baik-baik saja saat kau tak ada,
bukan mengubur rasa dalam galian tanah berbau luka.

Juga karena, kenanganmu masih berserakan diruang hati
Belum ku benahi
Boleh jadi kau kembali menamu, membawa bingkisan untukku
Harap yang kau bawa pergi.


#14
Maaf jika aku selalu berpuisi
Tanpa menguba senja itu disayup-sayup matamu
Sekilat bayangmu yang permisi dikaca spion itu
Kau rengkuh ingatanku pada bilik-bilik keabadian.

Aku hanya tak mengerti tentang banyaknya rumus pada matematika
Begitulah ketika yang lebih kusukai bermain pada kata
Tapi tenyata bukan hanya itu
Adakah dirimu masih berbentuk tanda tanya?

#15
Dulu ia ramai bertengger pada bintang yang seakan bernapas dimalam hari
Atau pada siang ramah sekawan burung menyapanya membentuk formasi
Sialnya, kini tak lagi kujumpai.

Dia yang kunamai langit
Yang pergi daun-daun itu tak lagi berkabar didahan kenangan
Dia yang kini beraroma mendung
Tak menjadikan malam sebagai malam
Lalu salah siapa ia yang kini tak berawan?





#16
Aku merindu (lagi)
Bukit bintang yang pernah kita kunjungi malam hari
Deretan pinus disepanjang jalan yang kita lewati
Biru pantai parangtritis membawa ombak menggelitik jari kaki.

Senja yang kita lihat dipelataran candi
Jalan malioboro yang riuh kita telusuri
Lalu bangunan-bangunan bersejarah ditaman sari
Dan masih banyak tempat yang belum kita kunjungi
Aku merindu (lagi).

#17
Adapun tahun telah kusematan pada bulan-bulan yang berganti
Tetapi kabar tak lantas
Ia mengabur
Diudara yang melayang napas-napas itu.

Engkau buat sedemikian rupa hingga jantungku bereuforia
Namun sedetik berikutnya, kau banting namaku dengan fasih ditrotoar jalan
Begitulah aku menuliskan sepenggal kisah yang kulupakan prolognya
Awal dari segala kita.


 -RIP-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar