Apakah mungkin kau juga merasakannya? Bercengkrama dengan
malam yang datang terlalu cepat. Membahas betapa dingin waktu itu, dipermukaan malam ketika
kau ucap, “Aku berhenti”. Aku tertawa mendengarnya dan tak mengerti maksudmu.
Ahh berhenti bergumam mugkin maksudmu, hanya itu yang ku pikirkan. Mengingat
malam itu, dingin memanggil-manggil dari hujan yang kupikir dapat kita hindari.
Meskipun pada akhirnya dapat berteduh, namun tetap basah disekujur tubuh.
Sekali lagi kau ucap, “Aku berhenti”. Tak lagi tawa tercipta
dariku, sehingga aku hanya mengerutkan dahi. Tak mengerti. Didepan sana,
diseberang jalan deretan toko-toko masih ramai beroperasi. Dan kita berteduh
disini, disebuah toko yang sudah tutup.
Apakah sejenak kau ingat? Malam itu, sebelum hujan turun
kita berjalan saling membelakangi seperti dua orang asing. Atau dua orang yang
mengenal namun tidak saling peduli. Seperti hanya kau yang berbicara dengan
jejak-jejak itu. Dan sepasang mata seakan menyuruh ku untuk berhenti ketika kau
membalikkan badan. Menatap aku. Tiba-tiba kau menengadah ke atas. Mengitari
pandangan keseluruh langit. Tak ada yang
kumengerti, kecuali dingin yang diciptakan malam dan dingin yang kau tunjukkan.
Rupanya baru kusadari, meski rasanya terlambat sudah.
Berbulan-bulan setelah malam itu. Aku hanya serangkaian harap yang cemas.
Menanti-nanti kabar yang mengabur diudara. Dipenjarakan waktu dengan enggan
berbaikkan pada hari yang tertanggal. Lalu tertinggal sebagai kenangan. Dan
engkau tak lagi kutemui disisi yang merindu. Sebagai ampas dari kemelut yang
tak berkesudahan. Aku baru mengerti. Maksudmu berhenti. Adalah berhenti saling
sapa.
Setelah itu, bersemayam sudah sekelebat inginku mengakhiri
malam. Membunuhnya dengan tangis dipojok kamar itu. Tanpa perlu ditanya, “Kau
kenapa?” sebab jawaban pasti itu adalah “Aku baik-baik saja”. Lalu tersenyum,
betapa pintarnya aku membodohi diri sendiri. Karena kau sudah tidak peduli. Begitu
aku menyadarinya. Maksudmu berhenti. Adalah berhenti mencintaiku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar