Setahun berlalu, ketika perasaan itu berubah. Atau lebih
tepatnya semakin terarah? Saat aku mengenalmu
di Desember pertama. Kau tau? Aku menuliskan beberapa kalimat, kurang lebih
seperti ini,
“Desemberku, ada seseorang yang ingin kuceritakan padamu
tapi tidak sekarang. Mengapa? Karena aku yang belum terlalu mengenalnya, namun
aku ingin lebih jauh mengenalnya. Karena aku belum tahu apa saja yang ia sukai,
namun kelak aku akan mengetahui. Serta mungkin karena aku yang juga masih
ragu...”
Kalimat itu untukmu.
Dan setahun berlalu, ku rasa. Di Desember kedua, mungkin aku
lebih mengenalmu dari tahun lalu. Anggap saja begitu. Mungkin kini aku tahu apa
saja yang kau sukai. Tetapi, yang kini dapat ku ucapkan adalah kata “Mungkin”.
Bukan karena perasaan itu layu apalagi mati yang kurasa sempat terlintas
dipikiranmu. Ia masih bernafas diluasnya galaksi, masih ingat bagaimana
bertengger pada semesta. Ia masih hangat di lembah-lembah bumi, masih memimpikan
siang dengan cahaya.
Di Desember kedua.
Kalau kau anggap perasaan itu tak lagi ku miliki, runtuh bersama bulan-bulan
lalu beserta kenangannya. Boleh ku jeruji anggapan itu? Seumur hidup atau biar
ku gantung mati. Boleh ku bakar menjadikannya debu? Agar tak berbekas, tak lagi
kau pikirkan, tak lagi kau umpat perasaanku.
Di Desember kedua. Apa kau butuh jeda? Katakan, agar aku tak
banyak menerka. Ini juga sulit untukku. Bahkan bintang tak selalu ada disetiap
malam, terkadang langit kehilangannya. Juga bagaimana daun yang tak selalu
setia pada ranting, ada waktunya ia gugur. Tetapi, kau pun tau bintang tak
pernah ingkar dengan sinarnya. Seraya daun yang akan kembali tumbuh pada
ranting itu.
Karena ini bukan sekedar, kopi yang di diamkan terlalu lama
hingga dingin. Lantas apa yang ingin kuceritakan pada Desember kali ini? Tentang
kita yang,
Yang saling menyakiti dengan prasangka sendiri.
Continue...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar