Aku sengaja menaruh pecahan gelas diatas meja,
menelanjangkan sunyi dihadapan puisi.
Ditimbun pualam-pualam setelah kau seduhkan secangkir resah.
Maaf jika ku lempar kedinding-dinding yang tak bersalah.
Pada arloji itu telah lenyap detik yang membuat detak ku
mendingin.
Membahasakan jarum jamnya pada selatan yang kau lewati.
Ingatkah? Kita pernah memilih utara bersama.
Dan kau tak habis bertanya mengapa kita tak pernah sampai.
Langkah ini, memangnya kapan kita pernah memulai?
Aku memang bodoh membiarkan udara membeku dikuncup musim.
Dalam metafora yang lesu, kau abadikan denyut waktu saat
matahari menangkap senyumku.
Yang kemudian lenyap.
Aku ingat betul memajangkannya pada etalase setebal rindu
yang membiru.
Yang selalu kau abaikan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar