Minggu, 18 September 2016

Aku Lelah dan Setiaku Menunggu



Luka itu tercipta dari airmata yang mengering, yang terjamah banyak pilu. Tiada kata terlantun dari bibirmu yang hilang bersamaan dengan setiaku dan lelah terasa begitu menyakitkan saat menunggu. Petikan senyum yang dulu bersua berubah sendu tak berwarna. Lagi, seperti dulu ku menangis tak bersuara.

Ku nikmati penantian yang bahkan membawaku pada kenyataan. Kau memilihnya. Pada setiap sajak yang hanya tertahan dibibir, kau tak tau. Kau lebih memilihnya, dan setiaku menjadi debu. Hilang bersamaan hujan. Pada saat kau masih disisiku, tiap bait kusematkan untukmu. Seperti dirimu, aku pun tak mau kesepian. Sendiri bersama bayang yang tercipta oleh puisiku.


                                                          

Perih selalu sama rasanya, tak berubah. Kupikir dengan mengikhlaskan semua, aku kan baik-baik saja. Namun tidak, percayalah. Luka masih menggema bahkan saat kini kau sedang bersamanya. Kukira dengan mengikuti berjalannya waktu, aku kan mengerti. Masih tidak, kau pun tau. Waktu selalu membawa kenangan kita dulu, dan aku tak mampu menyanggah.

Lambat laun kau semakin tak nampak. Aku berpikir, apa salah ku. Kau menjauh dan memilih bersamanya. Tanpa sepatah kata, membuat hati tak mau menerimanya. Aku ingin bersamamu.
Sudah berkali-kali ku katakan menyerah. Berkali-kali juga aku semakin dibuat rindu, dan kau tak tau. Hati ini masih memilihmu. Lembayung senja sekalipun menampakkan bayangmu, dan aku lelah. Setiaku mungkin telah menjadi debu, namun ia masih menunggu untuk dimiliki. Dan kalau Tuhan mengizinkan ku menunjuk hambanya untuk memiliki setiaku, tangan ini kan selalu mengarah padamu.

1 komentar: