Kamis, 07 Desember 2017

Berhenti sudah (Part 2)



Apakah mungkin kau juga merasakannya? Bercengkrama dengan malam yang datang terlalu cepat. Membahas betapa  dingin waktu itu, dipermukaan malam ketika kau ucap, “Aku berhenti”. Aku tertawa mendengarnya dan tak mengerti maksudmu. Ahh berhenti bergumam mugkin maksudmu, hanya itu yang ku pikirkan. Mengingat malam itu, dingin memanggil-manggil dari hujan yang kupikir dapat kita hindari. Meskipun pada akhirnya dapat berteduh, namun tetap basah disekujur tubuh.

Sekali lagi kau ucap, “Aku berhenti”. Tak lagi tawa tercipta dariku, sehingga aku hanya mengerutkan dahi. Tak mengerti. Didepan sana, diseberang jalan deretan toko-toko masih ramai beroperasi. Dan kita berteduh disini, disebuah toko yang sudah tutup.

Apakah sejenak kau ingat? Malam itu, sebelum hujan turun kita berjalan saling membelakangi seperti dua orang asing. Atau dua orang yang mengenal namun tidak saling peduli. Seperti hanya kau yang berbicara dengan jejak-jejak itu. Dan sepasang mata seakan menyuruh ku untuk berhenti ketika kau membalikkan badan. Menatap aku. Tiba-tiba kau menengadah ke atas. Mengitari pandangan keseluruh langit.  Tak ada yang kumengerti, kecuali dingin yang diciptakan malam dan dingin yang kau tunjukkan.

Rupanya baru kusadari, meski rasanya terlambat sudah. Berbulan-bulan setelah malam itu. Aku hanya serangkaian harap yang cemas. Menanti-nanti kabar yang mengabur diudara. Dipenjarakan waktu dengan enggan berbaikkan pada hari yang tertanggal. Lalu tertinggal sebagai kenangan. Dan engkau tak lagi kutemui disisi yang merindu. Sebagai ampas dari kemelut yang tak berkesudahan. Aku baru mengerti. Maksudmu berhenti. Adalah berhenti saling sapa.

Setelah itu, bersemayam sudah sekelebat inginku mengakhiri malam. Membunuhnya dengan tangis dipojok kamar itu. Tanpa perlu ditanya, “Kau kenapa?” sebab jawaban pasti itu adalah “Aku baik-baik saja”. Lalu tersenyum, betapa pintarnya aku membodohi diri sendiri. Karena kau sudah tidak peduli. Begitu aku menyadarinya. Maksudmu berhenti. Adalah berhenti mencintaiku.

Desember Kedua (Part 1)



Setahun berlalu, ketika perasaan itu berubah. Atau lebih tepatnya semakin terarah? Saat aku  mengenalmu di Desember pertama. Kau tau? Aku menuliskan beberapa kalimat, kurang lebih seperti ini, 

“Desemberku, ada seseorang yang ingin kuceritakan padamu tapi tidak sekarang. Mengapa? Karena aku yang belum terlalu mengenalnya, namun aku ingin lebih jauh mengenalnya. Karena aku belum tahu apa saja yang ia sukai, namun kelak aku akan mengetahui. Serta mungkin karena aku yang juga masih ragu...”

Kalimat itu untukmu.

Dan setahun berlalu, ku rasa. Di Desember kedua, mungkin aku lebih mengenalmu dari tahun lalu. Anggap saja begitu. Mungkin kini aku tahu apa saja yang kau sukai. Tetapi, yang kini dapat ku ucapkan adalah kata “Mungkin”. Bukan karena perasaan itu layu apalagi mati yang kurasa sempat terlintas dipikiranmu. Ia masih bernafas diluasnya galaksi, masih ingat bagaimana bertengger pada semesta. Ia masih hangat di lembah-lembah bumi, masih memimpikan siang dengan cahaya.

Di  Desember kedua. Kalau kau anggap perasaan itu tak lagi ku miliki, runtuh bersama bulan-bulan lalu beserta kenangannya. Boleh ku jeruji anggapan itu? Seumur hidup atau biar ku gantung mati. Boleh ku bakar menjadikannya debu? Agar tak berbekas, tak lagi kau pikirkan, tak lagi kau umpat perasaanku.

Di Desember kedua. Apa kau butuh jeda? Katakan, agar aku tak banyak menerka. Ini juga sulit untukku. Bahkan bintang tak selalu ada disetiap malam, terkadang langit kehilangannya. Juga bagaimana daun yang tak selalu setia pada ranting, ada waktunya ia gugur. Tetapi, kau pun tau bintang tak pernah ingkar dengan sinarnya. Seraya daun yang akan kembali tumbuh pada ranting itu.
Karena ini bukan sekedar, kopi yang di diamkan terlalu lama hingga dingin. Lantas apa yang ingin kuceritakan pada Desember kali ini? Tentang kita yang,
Yang saling menyakiti dengan prasangka sendiri.

Continue...